ISLAM, KITA

Eko yang baik, saya ingin kembali berbincang tentang Islam, sebuah agama yang dengan kompleksitasnya memaksa saya untuk selalu ingin memikirkannya. Saya selalu ragu tentang pemahaman saya tentangnya. Kadang pikiran itu terlalu besar dan saya miris jika terus meladeninya. Saya sedikit-banyak baca buku tentang agama saya itu. Mula-mula hanya untuk meladeni apa yang kau omongkan saja. Saya pikir sepertinya menarik apa yang kau omongkan itu. Tapi, kemudian, saya jatuh cinta di dalamnya.

Apa yang kita baca sama sekali berbeda; mungkin karena ini disebabkan oleh minat kita yang berbeda pula. Kau terpesona oleh kejayaan Islam tempo dulu. Sementara saya terpesona oleh perbincangan tentang keimanan. Karena itu, Eko, saya menyukai film Keeping the Faith (2000) yang bertutur tentang dilema seorang pastur (Edward Norton) dengan kesetiaan pada iman dan godaan tubuh perempuan. Sementara kau ngotot pada satu Islam, pada politi Islam.

Sesekali mungkin kau harus tonton film ini. Dalam film itu, Eko, si pastur punya teman yang Rabi Yahudi (Ben Stiller). Keduanya sudah berteman sejak kecil. Menginjak dewasa keduanya harus menentukan jalan masing-masing, meski mereka punya satu kesamaan: ingin mengabdikan hidup pada agama. Begitulah, yang satu jadi Rabi, yang lainnya jadi pastur.

Si Rabi sangat disukai umatnya karena membawa revolusi kebaktian yang meriah. Umat seolah menemukan agama yang dianutnya begitu menyenangkan. Diceritakan, misalnya, si Rabi itu memimpin misa dengan koor ala opera atau kadang-kadang seperti pentas jazz. Tapi si Rabi tak punya pantangan terhadap tubuh perempuan. Maka ketika banyak umat perempuan muda yang mengaguminya dan mengajak kencan, si Rabi oke-oke saja diajak makan malam di kafe, di mana di sana ia juga bertemu dengan banyak umatnya.

Suatu kali mereka mendapat kabar, seorang teman sewaktu kecil mereka mengajak bertemu. Si teman ini (Jenna Elfman) perempuan New York yang modis, blonde, langsing, karir bagus sehingga tak pusing memikirkan sewa apartemen. Keduanya jatuh cinta pada teman lama itu. Tapi, kau tahu, Eko, siapa yang akan memenangkan persaingan mendapat cinta sang primadona itu.

Maka, dalam sebuah pasase si rabbi bercinta dengan gairah yang memuncak sebagai seorang kawan yang saling memendam perasaan sejak lama. Si pastur tentu hanya bisa gigit jari menyaksikan teman-teman kecilnya terlibat asmara.

Saya suka film ini, Eko, karena di sana apa yang jelek dan apa yang bagus menurut norma agama menjadi tak jelas batas-batasnya. Kita ini juga manusia, yang bukan sufi pula.

Atau ketika saya menonton Vertical Limit (2000). Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir (Alexander Siddig) ikut dalam tim itu. Dia kebetulan berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Suatu kali si Kareem harus salat. Si Amerika bertanya, “Hei, apa Tuhan masih minta diingati ketika keadaan genting seperti ini?” Kareem tidak menjawab. “Kau percaya Surga, Kareem? Aku tidak. Aku lebih percaya neraka itu ada.” Kareem harus menyelesaikan salat hingga salam. Selesai itu ia berbalik. “Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik.”

Dialog yang khas Amerika memang. Tapi saya terkesan. Seperti kesan saya ketika membaca Bahkan Malaikat pun Bertanya. Penulisnya, Jeffrey Lang, seorang profesor Matematika di Universitas San Fransisco, Amerika Serikat. Sebagai mualaf ia begitu apik meracik perjalanan hidupnya menemukan Islam. Ia bercerita, misalnya, betapa ia sangat terpesona mendengar seseorang membaca Quran. Tapi ia sempat bimbang, karena Islam yang dicarinya ternyata bukan agama untuk perempuan.

Di Arab, begitu ia menulis, ketika azan berkumandang polisi patroli menghardik setiap lelaki yang masih berkeliaran di swalayan atau di jalan-jalan. Tapi ketika para suami itu salat, istri-istri mereka menunggu di mobil atau di beranda masjid. Dia berpikir, mungkin itu Islam dalam wajahnya yang dikendalikan negara. Ketika negara turut campur dalam urusan keimanan seseorang, hal-hal yang seharusnya wajib bagi setiap manusia justru terabaikan. Atau, ia berpikiran pesimis, Islam, katanya, sebuah agama yang ditunjukan untuk kaum lelaki.

Hal-hal seperti ini, Eko, yang hinggap di kepala saya. Saya dididik dalam lingkungan agama yang netral, yang masih mistis, yang bimbang antara NU dan Muhammadiyah, tapi sangat takut ada penterasi Kristen. Maka saya diwajibkan bisa baca Quran tapi tak ketat menjalankan kewajiban. Tuhan bagi kami adalah tempat pertahanan terakhir, tapi tak diajak berpikir bahwa manusia masih bisa memikirkan dan mendebatkan-Nya. Hingga saya masih berusaha nyolong waktu ngaji saya dengan nonton Donald Bebek di TVRI.

Begitulah, Eko. Ketika Islam dipolitisasi, ia menjadi semacam pertaruhan, atas nama, dan tunggangan. Tapi, saya tak mau naif. Ada begitu banyak cara orang meraih kekuasaan. Kau pasti tahu, bagaimana gejolak politik Islam pasca khulafaurrasyiddin. Ada begitu banyak intrik dan tak tik untuk merebut warisan nabi itu. Kau bilang dan sering menyerukan agar umat Islam bersatu dalam kekhalifahan. Tapi, apakah itu mungkin? Tidakah itu hanya ilusi? Tidakah itu, di jaman kini, hanya akan melahirkan keseragaman? Dan seragam (kau tahu?) hanya akan melahirkan jawaban tunggal. Saya kira, Tuhan kita tak senang dengan jawaban tunggal. Buat apa dia bikin otak di kepala kita, kalau dia tak ingin kita bertanya.

Eko, sampaikan salam saya untuk teman-teman.

UPDATE
Seseorang mengaku gatal jemarinya lalu menanggapi tulisan ini di sini.

AKSI SEJUTA UMAT

 

Kemarin dua juta orang berkumpul di bundaran Hotel Indonesia. Jumlahnya memang disebut beragam: ada yang menyebut satu juta, dua juta, bahkan cuma 200 ribu. Tapi tak penting. Di layar televisi, kameramen yang mengambil gambar dari atas gedung menunjukkan jumlah orang itu memang tak sedikit. Tiga ruas Jalan Thamrin macet total. Kumpul-kumpul menentang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak itu pun dinamai Aksi Sejuta Umat.

Solidaritas, begitu latar aksi itu disebut. Tokoh nasional berganti-ganti memberi orasi. Ada Amien Rais, Nurcholish Madjid, Julius Kardinal Darmaatmadja, dan pemimpin aksi sendiri: Hidayat Nur Wahid. Massa sudah muncul dari gang-gang sejak subuh-subuh. Mereka datang dari pelbagai agama, suku, ras. Di belakang seorang reporter televisi berbaris deretan mahasiswa berjilbab putih-longgar yang bersambung dengan suster dengan tudung kepala dan pakaian khasnya. Orang bersatu mengutuk serangan yang sudah memakan waktu lebih dari seminggu itu.

Empati, begitu para peserta demo membuka niat mereka turun ke jalan. Ada rasa haru yang timbul dari niat-niat seperti itu. Pengakuan sebagai manusia–tanpa identitas apa pun yang ditonjolkan–yang mendorong jutaan orang itu konvoi memenuhi jalan. Ini aksi terbesar sepanjang demo-demo mengutuk serangan sepihak Amerika itu, juga demo-demo selain tentang Amerika-Irak sebelumnya.

Tapi, tunggu dulu. Solidaritaskah itu? Mungkin iya. Namun, agak ganjil ketika yang bertindak sepihak atas nama kekerasan itu Amerika, sebuah negara adidaya yang mengundang geleng kepala dunia ketiga dalam setiap kebijakannya. Karena itu Amerika dikutuk, dibenci, tapi juga dibutuhkan. Maka terbitlah solidaritas untuk rakyat Irak–meski tidak untuk Saddam Hussein– dan ramai-ramai menentang niatan Amerika. Pokoknya Amerika, dalam satu soal ini, punya kesalahan tak berampun hingga ke langit ke tujuh.

Aksi ini memang hebat. Tak sehebat, misalnya, ketika setiap kantor berita dan media memberitakan ribuan anak-anak jadi korban di Aceh, Papua, Ambon, Poso, atau Kalimantan. Tak ada musuh bersama yang harus dihadang dalam judul kekerasan yang terjadi di pelbagai daerah Indonesia sendiri itu, yang menerbitkan trauma bagi setiap korban yang tak gampang disembuhkan. Padahal, kekerasan yang terjadi di sini begitu dekat, meski ruwet; begitu nyata, meski tak terjangkau; begitu sadis hingga tak sampai tergubris.

Manusia sering kali tak seimbang. Tak adil. Tapi, itu juga kodrat yang diberikan Tuhan. Maka ia menciptakan sorga hanya buat orang-orang yang bisa berbuat adil.

Setiap kita tak setuju dengan cara kekerasan untuk menyelesaikan soal. Tapi, keadilan untuk berpihak pun perlu agar soal itu tak jadi ruwet atau dilupakan. Untuk itu Milan Kundera, dalam novelnya The Book of Laughter and Forgetting, mengingatkan manusia akan bahaya lupa. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa,” itu kalimat Kundera yang lebih dulu terkenal di sini dibanding novelnya.

Dalam bagian awal novel itu, Kundera menulis peristiwa-peristiwa berlalu dan lindap oleh peristiwa lainnya. “Pembantaian berdarah di Bangladesh dapat cepat menutupi kenangan akan invasi Rusia atas Cekoslowakia. Pembunuhan Allende mengurangi rintihan Bangladesh. Perang di padang pasir Sinai melupakan Ceko, dan seterusnya dan seterusnya hingga pada akhirnya setiap orang membiarkan segala sesuatunya terlupakan”. Begitulah, orang sering tak adil karena lupa atau melupakan. Karena itu lupa juga bisa membunuh solidaritas.

POLITISASI MASJID

Politisasi masjid tak hanya terjadi di kota-kota. Ada yang bilang pertumbuhan masjid seiring pertumbuhan korupsi.

Masjid adalah sebuah rendezvous yang dikangeni sekaligus suci. Di kampung-kampung masjid menjadi tempat pertemuan yang lebih sering dibanding balai desa. Jika di balai desa orang bertemu untuk suatu kerja gotong royong, pendeknya ada keperluan yang menyangkut hajat hidup orang desa, masjid menjadi tempat pertemuan apa saja. Saat magrib tiba, orang-orang tua datang ke masjid untuk salat, anak-anak ke masjid untuk mengaji dan sedikit main-main.

Continue reading “POLITISASI MASJID”

Enjoy this blog? Please spread the word :)