CINTA YANG TAK MASUK AKAL

CINTA seringkali tak masuk akal.

Ibu saya mengirim SMS memberitahu pohon mangga di depan dan belakang rumah di kampung sedang berbuah. Katanya, tiap mangga berbuah dia ingat saya yang memang doyan memakannya. Dan ia menyisakan lima butir. “Kalau-kalau kamu pulang,” katanya.

Saya tertawa mendengarnya. Tentu saja saya tak akan pulang dalam waktu dekat ini. Dan kalaupun akan pulang saya pasti memberitahu. Sekarang sudah ada telepon seluler. Dan sejak menikah saya pulang hanya saat Lebaran. Artinya, jadwal pulang saya pasti, jika tak ada urusan gawat dan mendesak yang mengharuskan saya mudik. Jadi, menyimpan lima mangga untuk saya terdengar aneh karena mangga-mangga itu bakal membusuk sebab Lebaran masih sepuluh bulan lagi.

Tapi itulah cinta, yang sering tak masuk akal.

Ibu saya selalu saja berpikir setiap tahun adalah tahun 1996. Di tahun itu, dan tahun-tahun sesudahnya, saya meninggalkan rumah untuk sekolah.

Komunikasi kami hanya melalui surat. Kalau liburan semester saya bisa tiba-tiba nongol di depan pintu karena, meski sudah diberitahu jadwal libur dan ujian, tetap saja mereka lupa jadwal saya pulang. Dan ibu kerap menyesal jika saat liburan, musim mangga sudah habis dan ia tak menyisakan satupun untuk saya. Sejak itu ia menyimpan mangga saat berbuah karena takut saya pulang sewaktu-waktu sementara musim sudah habis.

Mungkin cinta memang tak masuk akal.

Barangkali karena setiap orang punya memori tentang peristiwa yang paling membekas dalam hidupnya. Bagaimanapun, sejak anak-anaknya sekolah ke luar kampung, hidup ibu dan bapak jadi berat karena kebutuhan bertambah.

Ibu masih saja memandang saya seperti tahun 1996. Hampir setiap hari menelepon atau ditelepon, nasihatnya selalu sama: jangan telat makan, jaga kesehatan, berhenti merokok, selalu bersyukur. Untung saja ia tak menambah satu nasihat yang dulu wajib ia katakan: rajin belajar!

Memori itu melahirkan cinta yang tak masuk akal, bagi saya. Bagi ibu semua itu muncul dari bawah sadarnya, sesuatu yang tak dipaksakan. Cinta itu lahir dari fitrahnya sebagai ibu yang protektif terhadap anak-anaknya. Sebab bapaklah yang selalu mengingatkan dengan nalarnya agar tak usah terlalu pusing memikirkan hidup anak-anak yang sudah memisahkan diri, yang sudah punya urusannya sendiri.

Setelah punya anak sekarang, saya jadi paham kenapa larangan kepada anak-anak lebih banyak keluar dari ibu. Bapak cenderung longgar dan menuruti kemauan anak.

Mungkin karena ibu punya hubungan jauh lebih dekat kepada anak-anaknya. Setiap anak akan mengikatkan dan mengukuhkan batinnya saat menyusu.

Dengan segala susah payahnya mengurus kita, ia akan lebih cemas karena ikatan itu. Ketika anak-anaknya susah, itu menohok benteng proteksi yang dibangunnya selama kita tumbuh itu. Maka jika ibu melarang jangan minum es di musim hujan karena bisa flu, bapak akan mengizinkannya karena flu toh ada obatnya dan bisa sembuh segera.

Jika ibu melarang jangan memanjat atau main pisau, itu karena ia cemas kita akan terluka dan kesakitan. Sementara bapak akan membiarkan karena anak-anak suka mencoba banyak hal.

Ibu akan melarang karena ia akan bekerja lebih keras jika anak-anak mereka sakit: menjaga, merawat, dan menyembuhkan. Ia akan lebih banyak terjaga malam-malam.

Dari situlah tumbuh cinta protektif yang kerap tak masuk akal.

Seorang teman mengingatkan, momen mangga itu akan begitu membuat kangen saya suatu saat nanti. Ibu teman ini meninggal dua tahun lalu. Berbahagialah, kata teman ini, yang masih punya ibu dengan cinta yang luar biasa, betapapun tak masuk akal dan nalar kita yang suka berpikir selintas dan enteng-entengan.

KRL, 25102011

KUKEMBALIKAN ENGKAU

Kukembalikan engkau pada sepi
pada gema yang pudar digubah puisi
pada purnama yang tegak sendiri
setelah kemarau sengit sebuah Juni

Jangan nangis. Sebab senja segera rimis
ketika cahaya kisut malam meningkap kabut
Adakah yang lebih sendiri
dari susut akasi musim semi?
Adakah yang paling pilu
dari keretak jarum-jarum waktu?

Maka Kuhantarkan engkau pada sunyi
setelah kita tempuh cinta yang rumit ini

1998

PERTANYAAN ANEH SEHABIS BUKA PUASA

 

 

AGAK aneh dan menggelikan bahwa saya ditanya tentang perkawinan.

Dia bertanya amat serius, pada malam sehabis buka puasa. Perut kenyang, mengantuk, tak bisa gerak, dan dia meminta sebuah pertimbangan apakah perkawinan itu mesti atau tidak untuk dirinya, seorang perempuan lewat 30 yang bisa dengan enteng putus dan jadian dengan laki-laki baru kenal.

Saya tak heran dengan pertanyaan semacam ini. Ia kerap melontarkan pertanyaan yang konyol dan sia-sia. Dia tahu, saya kadang menyesal mendengarnya, tapi dia akan terus dan terus. Malam itu, malam dengan bulan yang lewat sempurna, dia bertanya: “Apakah saya perlu mengawini laki-laki ini?”

“Tergantung. Kamu butuh laki-laki atau suami?”

Sampai Ramadan hampir habis, dia tak bertanya lagi.

PERKAWINAN

DIA menelepon sambil tersedu. Perempuan yang merungkupkan syal ke kepalanya untuk menahan hembusan angin mesin pendingin, yang duduk di sebelah saya dalam sebuah bus yang membawa kami ke Bandarlampung.

Dia menelepon sambil tersedu, dalam isak yang tertahan, dan bicara yang dipelan-pelankan. Bus sudah mau masuk pelabuhan Merak. Artinya, itu hampir jam 00. Saya sempat tidur sebentar tadi, karena playlist mp3 sudah melewatkan tiga lagu yang tak saya ingat: Sad Song, Try Not to Remember, dan Breaking The Habit, lalu terbangun karena grasak-grusuk perempuan itu mencari teleponnya.

Tak jelas benar apa yang dia obrolkan. Lagipula, telinga saya penuh oleh lagu-lagu unplugged Nirvana. Saya mencoba tidur lagi, mengingat kejadian yang sudah lewat, membayangkan kejadian yang akan datang, peristiwa berkelebatan saling susul, yang sedih, yang lucu, yang konyol, yang bikin dongkol, kenangan-kenangan masa kecil, masa setengah besar, masa besar, betapa hidup penuh kejutan, selalu ada benang merah dari setiap peristiwa, dan di luar skenario manusia (“Tuhan itu pelawak ulung,” kata seorang tokoh dalam A Father’s Affair, sebuah novel dari Karel Glastra van Loon, yang mengisahkan pencarian seorang ayah mencari ayah anaknya).

Saya hampir memasuki alam bawah sadar [ini istilah hipnoter Rommy Rafael yang sebelum ia terkenal, istilah itu saya temukan dalam biografi Sigmund Freud], ketika perempuan itu tiba-tiba bilang, “Maaf ya, kalau saya tadi mengganggu.” Dalam rembang pikiran dan ingatan, saya menduga itu bukan suara untuk si peneleponnya. Itu maaf untuk orang lain.

Saya buka mata dan menoleh, dia melihat saya, mengangguk. Jadi jelas, itu maaf untuk saya. Daripada disebut tak sopan, saya copot earphone lalu balas mengangguk dan bilang “Oh, tak apa…” Saya menduga percakapan basa-basi itu akan berakhir sampai sana, meskipun agak aneh juga. Saya belum pernah menemukan sopan-santun Timur semacam itu: meminta maaf kepada orang asing dalam kendaraan umum karena takut mengganggu setelah bertelepon sambil menangis.

Dan percakapan itu tak berhenti sampai di sana. Dia–sampai sekarang saya tak berhasil mengingat wajahnya–bilang lagi, “Tak ada perkawinan yang sempurna.” Ha? Jadi itukah yang bikin dia menangis? Apakah di telepon itu suaminya atau orangtuanya atau anaknya atau adiknya atau selingkuhannya atau … Saya tak mau menduga-duga. Dia menunduk. Dan tentu saja saya tak menanggapi kalimat terakhir itu. Saya betulkan duduk, memeriksa sandaran kepala, memastikan tas ada di tempatnya. Jelas saya tak sedang bermimpi.

Saya tak memasang lagi earphone, kalau-kalau dia bicara lagi. Dalam kepala saya bilang, tentu saja tak ada perkawinan yang sempurna, yang ada adalah perkawinan yang disempurnakan. Dan sempurna adalah definisi yang paling absurd, untuk sebuah hubungan antar manusia. Bagaimana dua orang yang berbeda isi kepala bisa saling menaut dan mengait lalu menempuh satu tujuan yang sama. Dan perkawinan adalah hasil peradaban manusia yang paling lucu, lagi-lagi ini kutipan dari Karel van Loon. Di sini kita terbiasa berusaha melucu dengan membedakan perkawinan dan pernikahan.

Tapi sampai bus masuk kapal, sampai pikiran saya capek menduga-duga, dia diam saja dan terus menunduk. Ujung syal menghalangi mukanya dalam temaram lampu bus malam. Mungkin dia menyesal kelepasan ngomong, kepada orang asing yang duduk bersebelahan sekitar 6-7 jam. Mata saya yang belum terkatup dua malam mulai berat. Ketika alam atas-sadar terkumpul lagi, bus sudah hampir masuk stasiun Tanjungkarang. Saya buru-buru turun dan lupa berpamitan kepada perempuan yang bertelepon sambil tersedu.

Enjoy this blog? Please spread the word :)