ORANG JEPANG

Orang Jepang selalu serius bahkan agak berlebihan menurut tata krama ukuran orang Indonesia.

JANGAN bertanya kepada orang Jepang, karena dia akan meninggalkan segala urusannya untuk menjawabnya. Saya berbelanja di sebuah toko sayur di Kyoto dan iseng bertanya kepada pelayannya, apa nama benda seperti kayu menyerupai singkong yang dijual di tokonya. Ia berhenti menghitung belanjaan, menghampiri saya dan menyebutkan sebuah nama dalam bahasa Jepang.

KYOTO

Pagi menggeliat di Kyoto. Jangan menelepon orang jam 10, mereka masih tidur. Kerai toko belum naik. Jalanan lengang. Padahal ini akhir musim dingin, ketika termometer kembali bisa mencatat udara: 10 derajat Celcius. Hari cerah, matahari berkibar-kibar.

Kota tua ini baru hidup menjelang tengah hari. Penjual sayur dan kembang baru menata dagangannya di kaki lima dengan payung terpal seadanya. Orang-orang keluar rumah dengan sepeda atau berjalan kaki di trotoar yang resik. Mereka tak lagi memakai jaket tebal atau kupluk dan sarung tangan, meski tetap dengan jaket atau sweter dan sepatu.

Kebanyakan orang-orang tua, sangat tua. Jika di Jakarta, mungkin mereka akan diam saja di rumah, alih-alih berjalan-jalan di sepanjang trotoar. Tapi di sini hak mereka terjamin, sama seperti mamalia lain yang berjalan tegak, bisa bernapas dan berpikir, yang kita sebut manusia. Mobil-mobil akan berhenti jika mereka akan menyeberang, sementara tak ada lampu merah di jalanan satu arah yang sempit.

Juga di trotoar. Tak ada pedestrian atau kaki lima selebar tiga meter seperti di Jakarta. Di sini trotoar cukup satu sampai 1,5 meter saja. Tapi di sana banyak hal tertampung: sepeda, pejalan kaki, warung-warung. Jika akan berpapasan, satu mengalah, sering kali dua-duanya. Biasanya, orang tua yang didahulukan, baru yang membawa anak, kemudian yang muda-muda. Mobil? Sabar, nanti belakangan.

Jepang adalah sebuah negara yang efektif. Rumah-rumah, jalan-jalan, mobil-mobil, berukuran mini. Kemubaziran dihindari. Hal ihwal dibuat untuk difungsikan.

Orang Jepang terkenal sopan dan penurut. Jared Diamond memasukkan orang Jepang sebagai kekuatan dunia modern. Sikap dan budaya mereka, tulis Jared dalam Guns, Germs, and Steel–yang memenangi Pulitzer itu–adalah contoh sebuah peradaban.

Bayangkan, mereka mau saja diatur memisahkan sebelas jenis sampah sebelum dibuang. Tapi itu di Minamata. Di Kyoto, sampah cuma ada dua jenis: plastik dan bukan plastik. Karena itu kota lama ini masih tergolong kota yang tak ramah lingkungan. Astaga! Padahal tak ada sampah dan ludah di jalanan, apalagi comberan.

Sebagai orang Indonesia saya malu. Dan kita tertipu. Kita dibuai oleh sejarah yang mengecap kita sebagai bangsa yang santun. Saya merasa, di Kyoto ini, cap itu sebuah cemooh. Kita tak pernah bisa diatur dan mengatur diri sendiri. Kita tak pernah bisa menghormati hak orang lain, seperti orang Jepang menghormati manusia lain, seperti di jalanan itu.

Seperti umumnya turis, saya memotret setiap sudut jalan. Hanya di trotoar itu saja. Saya tak sadar di belakang ada pejalan lain yang berhenti karena potret saya itu. Mereka menunggu saya selesai mengambil gambar, meski saya sudah mepet ke sisi untuk memberi jalan mereka. Tapi mereka tetap diam. Saya mengangguk karena mereka mengangguk. Saya mengangguk sekali, mereka dua kali. Kemudian mereka lewat dengan memberi permisi.

Santun dari mana kita ini, Indonesia?

BERAS

 

Barangkali kita perlu menonton kembali film Tujuh Samurai. Film ini sudah lebih separuh abad dibikin Akira Kurosawa, tapi rasanya perlu ditonton kembali hari-hari ini.

Dalam adegan terakhir film itu, Kambei Shimada mengatakan, “Ini kemenangan para petani, kita kembali dikalahkan.” Shimada adalah samurai paling tua, pemimpin perlawanan para petani menghabisi para bandit. Ia menyusun strategi: kapan saatnya bertahan, kapan waktunya menyerang, mengatur ritme pertempuran atau membaca kemungkinan strategi lawan. Hasilnya, 40 bandit roboh tersabet pedang atau dirobek tombak-tombak para petani yang sudah dilatih oleh enam samurai lainnya.

Para samurai ini datang ke desa disewa tiga kali makan nasi sehari oleh para petani yang ketakutan perampok turun gunung merampas harta mereka setiap kali musim panen tiba. Film yang begitu realis (kenyataan tampak sangat wajar) ini memukau karena nyaris tak ada adegan atau dialog yang mubazir.

Kemampuan para samurai itu juga tak seragam. Ada Gorobei Katayama, pemain pedang kelas wahid yang kecepatan sabetan samurainya tak bisa diikuti kedipan mata. Ada Heihachi Hayashida yang ilmu pedangnya kelas dua tapi selalu gembira. Atau Kikuchiyo, anak petani yang selalu ingin dianggap titisan samurai, si slebor yang nekat tapi lucu.

Barangkali kita harus kembali menonton film ini.

Setelah gerombolan bandit mati, para petani kembali menandur padi sambil menyanyi. Para lelaki mengayun cangkul sambil menari. Mereka riang karena ancaman sudah hilang. Sementara Samurai, seperti kata Shimada, kembali dikalahkan. Mereka balik ke asal: hidup menggelandang sebagai ronin. Jika para petani, kelak, tumbuh sebagai kekuatan baru di Jepang, kasta samurai berangsur-angsur punah–mati kelaparan atau tewas dalam pertempuran. “Para petanilah yang menang,” alangkah tepatnya kalimat penutup film ini.

Sebab, para petani tahu cara menghitung untung dan jual-beli, mengerti perlunya menabung untuk esok. Dalam serial Oshin, kita melihat bagaimana sebuah desa bangkit menjadi kota karena penduduknya keluar rumah untuk menjual sesuatu, bukan ribet memanggul belanjaan seperti dalam film-film Amerika.

Kikuchiyo geram ketika tahu para petani menimbun gandum mereka dalam bukit batu. Tapi mereka mengaku tak punya apa-apa. Sebagai anak petani, Kikuchiyo paham betul bagaimana para petani memandang kasta samurai. Demikianlah, ia ingin menjadi samurai, yang terhormat, yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu. Dengan pemikiran begini, wajar saja jika petani yang bisa bertahan hidup lebih lama.

Dalam awal sejarah sosial Jepang, petani menjadi sokoguru yang menunjang ekonomi Jepang hingga membuat kagum orang “Barat”. Sebagai negeri-timur, Jepang tumbuh tanpa melupakan tradisi seraya menyontek tanpa malu-malu kemajuan-kemajuan Barat. Utang kita paling besar datang dari Jepang.

Jepang tak punya tanah pertanian, gempa selalu mengintip. Tak seperti kita: lahan subur zamrud katulistiwa tapi kelimpungan dengan soal makan. Beras saja harus didatangkan dari Vietnam, sebuah negeri yang kemarin sore baru merdeka. Kita, yang hidup di kota, sudah terbiasa dengan berpikir cara menak, yang memandang desa hanya sebagai tempat istirah. Tak heran, jika dalam film Indonesia petanilah yang ditinggalkan. Maka sebelum para petani kita bernasib seperti para samurai, baiknya kita tonton kembali film ini.

Enjoy this blog? Please spread the word :)