MENYANYIKAN PUISI

Saya pernah punya kasetnya, dan hingga kini masih terkenang. Saya setuju Garin Nugroho, jika stres saya dengarkan kaset itu. Lagu-lagunya mengalun, hingga saya bisa tidur dengan cepat. Itu kaset–yang kini entah di mana–berisi lagu-lagu Ari Malibu, Nana, dan Reda. Ketiganya menyanyikan beberapa puisi penyair kita: ada Emha Ainun Nadjib, Toto Sudarto Bachtiar, Agus Sarjono, Sapardi Djoko Damono, dll. Di sampul kasetnya yang berwarna hitam, Sapardi menuliskan kata pengantar untuk lagu yang disebut musikalisasi puisi itu.

Malam kemarin saya tak hanya mendengarkan lagu-lagu mereka kembali. Saya melihat ketiganya menyanyikan di panggung, di Warung Apresiasi, Bulungan. Ari yang memetik gitar, sesekali menyanyi, mengikuti tinggi rendah suara Reda dan Nana. Malam itu meraka tampil dalam Musikaliasi Puisi Sapardi Djoko Damono.

Di sana Sapardi juga membacakan puisinya, berselang-seling dengan pekerja teater Ags. Arya Dipayana. Kemudian ada Garin Nugroho yang didaulat membaca puisi Aku Ingin, yang terkenal itu, karena ia memasukan puisi ini dalam filmnyaCinta Dalam Sepotong Roti. Sapardi dan Ags. membacakan puisi yang ada di buku Hujan Bulan Juni. Pertama kali ia membaca Sepasang Sepatu Tua, puisi yang paling saya suka.

Saya suka puisi itu karena bercerita tentang “sepasang sepatu tua yang tergolek di dapur, yang jatuh cinta pada sepasang kaki”. Sapardi menghadirkan dialog antar sepatu kiri dan kanan. Ia selalu begitu. Ketika menulis cerpen Rumah, ia juga menghadirkan percakapan antar rumah tentang penghuninya satu dengan lain di sebuah komplek. Tapi saya tidak suka bagian akhir puisi itu. Sapardi tak masuk menekuni apa yang diinginkan sepasang sepatu itu, ia justru menyerahkannya.

Sapardi mengawalinya dengan sedikit pidato. “Saya tidak tahu apakah saya selebritis atau korban,” katanya yang disambut gerr penonton yang memadat tempat sempit itu. Sapardi mungkin mengejek dirinya sendiri, mungkin juga orang lain. Kini, kita tahu, selebritis dan korban tak bisa dibedakan, mungkin juga dua hal yang sama hakikatnya.

Biasanya saya tak terlalu berharap pada puisi, selain dibaca sendiri dalam hati. Biasanya puisi yang digubah dalam bentuk lain, misalnya dibaca di panggung, seringkali kehilangan daya pukaunya, meski itu dibacakan oleh penyairnya sendiri. Tapi, lagu-lagu Ari masih menyimpan suasana puisi-puisi itu.

Tapi, mungkin karena puisi yang dinyanyikan berasal dari puisi yang ditulis Sapardi: sederhana, hingga ke pilihan kata-katanya; sesederhana keinginannya mencintai seseorang. Atau ketiga bekas mahasiswa Sapardi di UI itu tahu bahwa memberikan musik pada puisi Sapardi tak usah neko-neko. Saya kutipkan puisi Aku Ingin di sini:

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Dipanggung itu, Ari hanya memetik gitar dan mengepaskan tinggi rendah nada dengan cord yang ada di gitar saja. Ia tak berpretensi musiknya ingin terdengar hebat. Justru karena itu bunyi gitarnya jadi melodius, mengalun pas membawa suasana setiap kata puisi Sapardi. Yang sederhana memang selalu menyimpan daya pukaunya sendiri. Musik live-nya sama bagusnya dengan lagu yang direkam di kaset.

Di antara lagu-lagu itu saya suka Sore Matahariku Masih Ada, lagu pembuka pertunjukan malam itu. Ada refrain dan suara lengking Nana dan suara Reda yang meladeni dengan nada satu oktaf lebih rendah. Saya lupa apakah lagu ini ada di kaset itu. Aduh, seandainya kaset itu tidak hilang. Tapi, kabarnya mereka akan menyimpannya dalam cakram compact disk.

PS : Saya bisa nonton acara itu berkat kebaikan ibu ini. Sayang kami tidak sempat ketemu bermuka-muka, padahal sebelumnya sudah kontak-kontak lewat e-mail. Kami, ternyata, sama saling menebak yang manakah wajah masing-masing kami.

Enjoy this blog? Please spread the word :)