NOVEL ini seperti surat untuk siapa saja, ke arah siapa saja.
Sepanjang halaman, ia terus menyapa: Kawan, jika kau ada di sampingku kau juga akan tahu bahwa orang-orang ini…
Seno Joko Suyono–teman kantor yang duahsyat, penulis budaya dan seni jempolan–seperti menulis surat untuk menceritakan seorang guru peniup klarinet yang jadi relawan pemindahan penduduk sebuah kota tua, entah di sudut Eropa Timur sebelah mana. Mungkin sebuah kampung di Rusia karena saljunya bikin hipotermia.
Syahdan, kota pelintasan Santo Paulus dari Tarsius ini akan dijadikan waduk raksasa.
Proses pemindahan penduduk itu menjadi fokus novel ini. Para relawan dari seluruh dunia datang ke sana.
Berbekal uang proyek yang tengah digarap pacarnya, peniup klarinet dari Indonesia ini nekat datang tanpa tahu detail kota ini dan watak penduduknya. Ia terkaget-kaget bahwa penduduk sini selalu curiga pada orang asing. Ia terkedut-kedut pada pelbagai peristiwa tak terduga dan aneh-aneh, untuk ukuran seorang guru 50 tahun yang peragu dan lembek ini.
Terasa betul Seno mengerahkan segenap kemampuannya untuk membuat kisah yang tak biasa: orang-orang jompo dalam perjamuan massal, pembantaian sekelompok pemain sirkus, para relawan dan penduduk yang misterius. Dan di tengah itu semua Seno menyajikan hal ihwal yang hadir dari luar pengetahuan manusia.
Mungkin dia ngibul soal mandi pipis unta, atau sedang berkelakar soal sajian daging segar yang dicolek garam untuk para tamu. Yang pasti ngibulnya meyakinkan. Kita terpaksa percaya bahwa tradisi itu memang ada, adegan-adegan gila itu memang terjadi.
Juga kefasihannya mengurai dan menyusun sejarah para santo dalam tradisi Katolik. Seno seperti hapal luar kepala semua tradisi itu lengkap dengan konteks dan latar belakangnya. Ia mengadon semua itu dengan kenangan erotis yang ganjil si peniup klarinet bersama Nin, pacar gelapnya, di Indonesia. Semua adonan itu mengalir, meluberi imajinasi kita, yang tak siap dengan segala jenis pengetahuan antah berantah itu.
Karena seperti surat, Seno menulis novel 397 halaman ini sekali jadi. Dia mengaku hanya sebulan menuliskannya. Ia tak menengok apa yang sudah ditulisnya di halaman sebelumnya. Akibatnya memang tulisan khas Seno Joko Suyono: jorok dan tak mengindahkan tata bahasa. Pelbagai tanda baca berserakan tak pada tempatnya, susunan kalimat yang tak baku, diksi baru yang tak diperiksa ulang maknanya, dan beberapa tautan cerita yang tak solid.
Seno memang tak peduli kemasan. Ia penulis yang mementingkan isi. Akibatnya, meski cerita Tak Ada Santo dari Sirkus ini luar biasa duahsyat, saya puegel bacanya.