KAIN DI WARUNG MAKAN

 

Kain di warung makan bukan menutup orang dan melindungi orang puasa dari godaan setan. Tapi menutup orang yang tak berpuasa agar asik masyuk bersama makanan.

KACA restoran pom bensin di Jalan Basuki Rahmat, dekat pasar Gembrong, Jakarta Timur, itu ditutup kain kuning dengan tulisan: Selamat menunaikan ibadah puasa plus gambar hotdog yang sedang mengepul.

Di siang terik begitu, ucapan itu seperti sedang meledek. Sebab di balik kain kuning itu, kaki-kaki bergoyang.

Dan kain itu memang tak ditujukan untuk kita, orang yang di luar restoran–tak cuma orang yang sedang puasa. Kain-kain penutup di warung makan dan restoran dipakai untuk menutup dan memberi rasa nyaman kepada mereka yang duduk di dalam.

Barangkali itulah cara menghormati orang yang berpuasa yang kian melenceng. Kain-kain tak lagi berfungsi menutup hawa nafsu bagi mereka yang berpuasa. Sebab tanpa ditutup pun kita tahu di dalam banyak orang yang sedang makan atau merokok. Sedang minum jus atau es blewah.

Cara “menghormati” itu adalah peninggalan zaman euphimisme, ketika segala tindak tanduk hanya berfungsi dan berhenti sebagai formalitas. Demi toleransi dan saling menghormati antar penduduk, kain itu perlu dibentangkan meski praktis tak berfungsi menumbuhkan toleran. Toh, pada warung yang terbuka tanpa kain pun kita bisa cuek.

Sebab itulah hakikat puasa: menahan diri dari godaan nafsu yang telanjang. Pada akhirnya, iman bukan soal yang mesti ditutupi.

TAK ADA MELATI DI JAYAGIRI

TAK ada melati di Jayagiri, tak ada tatapan penuh kasih, hati yang teduh, dan kecupan yang lembut. Yang ada adalah deru trail dan matahari menerobos lebih leluasa. Orang berlomba naik ke Tangkuban Parahu dengan sepeda motor, menerabas gawir-gawir yang rimbun, mengotori daun-daun dengan karbon monoksida, menderu campur debu…

Jalan-jalan pun banyak bercabang. Tebing-tebing hanya menyisakan bekas trek yang sudah tak dilewati pendaki, tapi tetap gundul karena pohon enggan hidup di sana lagi. Kini tumbuh trek-trek baru yang landai karena digilas roda motor, diinjak para pencari rumput, diteruskan para pendaki.

Pohon-pohon terluka oleh vandalisme. Di sebuah akasia, misalnya, tertoreh “Aku cinta padamu, Ratna….” dengan bulat hati tertancap anak panah. Betapapun ini romantika vandalisme tahun 80-an, cara menyatakan cinta begitu abadi dari generasi ke generasi. Betapapun itu melukai mahluk hidup yang lain. Akasia itu akan menanggung luka itu seumur hidupnya, tanpa bisa meneruskan pesan itu kepada Ratna, Rini, Riri…

Jayagiri kini begitu panas, kotor oleh sampah plastik dan bekas bungkus makanan sepanjang jalan. Pinus meranggas seolah tahu nasib mereka tak akan lama lagi. Pemerintah sudah menunjuk sebuah perusahaan untuk membabatnya, menggantinya dengan kebun kopi, mungkin bangunan-bangunan yang mentereng. Jayagiri barangkali segera akan tinggal kenangan. Anak-anak kita akan tahu kelebatan dan keteduhannya hanya dari lagu Iwan Abdulrahman yang diciptakannya tahun 1967.

Saya mendaki punggungnya 16 Agustus lalu dan kecele: tak ada bau embun yang bersarang di ujung-ujung daun, tak ada desau pinus dan humus yang lunak, tak ada harum angin, tak ada hutan kelabu meski sudah hujan, tak ada rimba, tak ada melati, keindahan tumpas di Jayagiri….

TETANGGA

INILAH yang selalu saya rindukan tiap pulang kampung: ketemu dan ngobrol dengan orang-orangnya. Saya mudik karena adik saya menikah dan ada hajatan kecil. Tetangga dan saudara berkumpul, menyiapkan makanan, penganan, untuk tamu dan handai taulan.

Dulu sewaktu disunat, saya paling suka menyelinap ke dapur yang dijubeli ibu-ibu yang sedang masak: nongkrong di depan hawu dan mendengarkan mereka ngobrol, sampai panitia penyambutan mencari-cari karena anak sunat harus dipajang di dekat panggung hiburan agar para undangan mudah menaruh amplop di peci atau melihat luka penis sudah mengering atau belum.

Saya nostalgia dengan masuk ke dapur. Kali ini membawa kamera. Setelah jeprat-jepret saya nongkrong di dekat sumur yang agak gelap. Bapak-bapak sedang istirahat setelah mencuci piring, sambil merokok. Dua orang berdagang es di Jakarta, dua lagi bertani. Kami mengobrol ke sana kemari. Dua lagi sambil bolak-balik mengangkut piring dan gelas kotor dari ruang prasmanan.

Seseorang–dia bapak dua anak yang baru menikahkah anak perempuannya–berbicara tentang perbedaan anak dan tetangga. Katanya, waktu berkumpul anak dan orang tua sangat singkat. Ia sendiri memiliki anaknya cuma selama 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya sendiri atau ke Jakarta untuk sebuah kerja. Tanggung jawab pun berpindah ketika ijab kabul pernikahan.

Tapi dengan tetangga, katanya, tak ada limit waktu kapan berpisah. Justru dengan para tetanggalah hidup lebih sering bersinggungan. Para tetangga kadangkala jauh lebih tahu apa masalah kita ketimbang anak-anak, yang jauh dari rumah. Mereka yang akan menolong pertama kali ketika kita ketiban musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelpon dulu jika kangen ingin ketemu.

Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika tiba waktunya. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agak kelak tak hidup sendiri.

Saya manggut-manggut. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan sebuah hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia berbicara tentang kecenderungan yang terjadi dari zaman-ke-zaman, apalagi ketika urbanisasi tak lagi bisa dicegah karena kota tetap menjanjikan sebuah harapan dan dusun tetap saja sebagai kampung halaman.

Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Karena besok saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak mencium bau sorenya lagi. Kami akan kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah lain yang bukan tempat asal dan masa depan kami. Rumah dan kampung ini hanya sebuah masa lalu dengan kenangan-kenangannya yang terus membetot ingatan, tapi tak mudah disinggahi. Kami harus pergi lagi setelah dua tiga hari tinggal, seperti ritual keluarga zaman industri.

Bapak-bapak inilah yang akan terus berkomunikasi dengan bapak-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Saya mungkin juga begitu, 15 atau 20 tahun lagi.

Enjoy this blog? Please spread the word :)