SAYA duduk di sebuah warung kopi di Pacifik Place, pada sebuah sore yang berangin. Menghidu Capuccino yang agak pahit. Lampu-lampu menyala bahkan di pojok-pojok yang tak perlu. Orang lalu lalang. Wangi, bersih, otot yang mengkal, rambut yang ogah tertiup angin, dada yang penuh, alis yang lancip. Seharusnya saya nikmati saja kopi dan pemandangan itu. Banyak sekali manusia bagus, mereka seperti tak lahir dari rahim ibu.
Tapi, selalu tiap kali nongkrong minum kopi–tentu saja ditraktir–di gedung yang menghabiskan ribuan watt setrum untuk sebuah kesenangan seperti itu, kepala saya penuh: apakah orang-orang ini pernah susah. Masalah hidup apa yang membuat dunia mereka jadi sempit? Terlalu sukar menebak kejumudan dalam wajah-wajah segar dan terawat semacam itu.
Mereka antri di Blitz Megaplex, memesan kopi yang rasanya tak bisa saya bayangkan, membuka Internet dengan Apple atau Blackberry, jalan bergandengan atau duduk berpelukan, tertawa renyah lalu berciuman. Di mall itu tiba-tiba saya merasa sendiri, betapa dunia kian asing. Kota melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang makin musykil.
Rupanya saya tak sendiri. Seorang teman bercerita ia habis spa di sebuah hotel bintang lima. Ketika kakinya baru masuk air mawar pada ritual paling awal pijat seluruh badan itu, pelayan yang meremas betisnya bertanya yang membuat ia ingin menceritakan rutinitas setiap Sabtu itu. “Ibu capek. Apa sih yang membuat ibu capek?” Mbak ini tak percaya di balik kulit porslen begitu ada yang bisa capek dan stres.
Saya dan mbak pijat itu berpikir yang sama: manusia menggosipkan manusia lain dalam kepalanya. Kepada teman ini–seorang bankir dengan gaji besar, tinggal di apartemen, kemana-mana selalu diantar sopir, lulusan universitas bergengsi di London, jadi member lapangan golf dan pijat hotel mewah–berulang-ulang saya bertanya, apa sih pekerjaan kamu? Maksudku, bagaimana kamu bekerja hingga digaji begitu besar?
Sebab, saya belum pernah bekerja–suatu tindakan yang ditukar dengan uang–selain pekerjaan sekarang. Kadang-kadang saya tak merasa bekerja karena pekerjaan ini terlalu banyak bengongnya, melamunnya, setelah wawancara sana-sini, mengobrol itu-ini, merangkai dan memverifikasi informasi. Waktu saya kecil dan tak begitu paham ketika ditanya apa cita-cita: bekerja itu mengajar di depan murid atau memberi penyuluhan kepada para petani tentang bagaimana membuat tanah kian gembur. Bukan duduk di depan komputer sambil memegang dagu atau kening, lalu pulang dan mendapat uang.
Bankir kita yang suka kelakar dan omong kosong ini berseru: pikiranmu usil. Tapi ia tertawa. Katanya, kurang lebih, “Saya capek karena saya juga bekerja 10 jam sehari, tanggung jawab saya besar, sehingga saya dibayar sepadan. Saya juga pernah hidup susah. Jadi, boleh dwong, saya menikmatinya.”
Saya tertawa dan saya setuju. Otak manusia memang usil. Kita suka membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Itulah kenapa para psikolog menyebut kita mahluk sosial. Dan karena itu dunia menjadi seru dan berarti.