Cerita Bhisma tentang raja Usinara sebelum ia wafat di Kurusetra, di hadapan dua keluarga satu nenek moyang yang bertempur berebut tahta kerajaan.
Continue reading “Daging Usinara”Category: wayang
PADA BHISMA, JUGA AMBA
Pada Bhisma kita belajar tentang keteguhan. Pada Amba tentang ketabahan.
EPOS Mahabharata menjadi kisah menyedihkan sebab ada begitu banyak orang mau berkorban untuk sesuatu yang musykil, karena itu nasib seperti mengutuknya.
Salah satunya Bhisma. Ketika namanya masih Dewabhrata, ia seorang putra mahkota Hastinapura. Ia copot sendiri gelar itu karena rasa hormat kepada ayahnya, Baginda Sentanu, yang ingin menikah lagi. Tak cuma itu, pangeran tampan yang pendiam dan suka merenung ini bersumpah tak akan kawin seumur hidup agar keturunan istri baru ayahnya itulah yang meneruskan dinasti. Konon, para dewa menarik napas dalam-dalam mendengar sumpah itu. Bhisma, Bhisma…
Dan cerita sedih Mahabharata pun dimulai. Hastinapura kemudian diteruskan Wicitrawirya, anak sulung Setyawati, permaisuri baru itu. Agar kerajaan itu terus, agar dinasti itu tak putus, Bhisma pergi ke kerajaan Kasi yang sedang menggelar sayembara mencari suami untuk tiga anak perempuan: Amba, Ambika, dan Ambalika. Bhisma bertempur dan mengalahkan semua penantang. Ia memboyong tiga putri itu untuk adik tirinya yang segera akan dinobatkan.
Wicitrawirya memilih Ambalika, putri sulung yang kelak melahirkan putra mahkota berwajah pucat: Pandu. Konon, bukan dari benih Wicitrawirya sebenarnya Pandu lahir. Wiyasa, seorang resi, lewat ke keputren dan diam-diam meniupkan sukma ke rabu Ambalika. Dan begitulah sebermula kemunculan putra Pandawa, lima pangeran yang menempuh hidup sengsara karena berselisih dengan Kurawa–cucu-cucu Wicitrawirya dari percintaan gelapnya dengan Ambika.
Perselisihan itu dimulai ketika Pandu, raja baru, tiba-tiba meninggal ketika lima anaknya masih bayi. Destarastra, pangeran buta dari rahim Ambika, naik tahta. Mahabharata pun kian membingungkan tentang siapa sebenarnya yang berhak atas kerajaan itu. Pandawa dan Kurawa saling klaim, menaruhkan kekayaan, harga diri, istri, sampai kerajaan, lalu mengakhirinya di padang Kurusetra dalam sebuah perang brutal 15 tahun kemudian. Bhisma ada di pihak Kurawa. Ia juga yang menjadi panglima tentaranya.
Bhisma mati oleh puluhan anak panah yang menghujam seluruh sendi, hingga ia tak bisa mencium tanah karena panah-panah itu menyangga tubuhnya. Tapi pangeran bijak itu, menurut sais keretanya yang menyusun laporan untuk Destarastra, meninggal dengan tersenyum. Matanya berbinar ketika anak panah terakhir menembus merihnya.
Ia tahu siapa yang menembaknya: seorang ksatria cantik ramping yang melesat mengendarai kuda dengan akurasi bidikan panah setara Arjuna, putra tengah Pandawa. Dialah Srikandhi. Tapi ketika panah pertama menembus belikatnya yang tak terlindung lalu roboh bertelekan lutut, Bhisma tengadah dan berseru, “Amba…”
Dan Bhisma mati dengan senyum, seolah telah menuntaskan dan menutup penyesalan yang pedih. Dan ia menyeru Amba.
Memang, putri itu telah ia kembalikan ke istananya, setelah sebuah pengakuan yang mengharukan. Amba bersumpah tak akan menerima pinangan siapapun, kecuali Pangeran Salya, kekasih yang amat ia cintai. Tapi Salya yang bimbang menolak karena menganggap Amba sudah tak suci lagi dan malu telah kalah dalam pertarungan sayembara itu. Amba pun linglung. Ia keluar istana sebagai orang yang ditolak dan direnggut. Ia masuk hutan, menjadi pertapa, dan menderita.
Sejak itu Bhisma menyesali perbuatannya. Penyesalan yang selamanya menggelayuti wajahnya yang teduh. Ia tak bisa menelan tapi juga tak sanggup memuntahkan penderitaan Amba. Maka Bhisma menyeru namanya pada napas yang penghabisan. “Amba telah menyongsongku,” katanya kepada Arjuna. “Amba telah menebusku…”
Sumber gambar: Easyday
ASTRAJINGGA
Ini sisipan dari perang Alengka dengan Ayodya, ketika Dasamuka menculik Shinta dan Hanoman mengubrak-abrik kerajaan itu. Monyet putih itu, yang digambarkan sangat congkak dalam episode ini, hampir kewalahan ketika kakak beradik Aswandi Kumba-Kumba Aswandi tak kunjung bisa mati.
Dua orang itu adalah anak-anak Kumbakarna, adik Dasamuka. Mereka tak membela Dasamuka yang memang salah itu, tapi upaya mencegah kerusakan yang lebih parah akibat amukan Hanoman. “Ini negara kami, kau tak bisa seenaknya merusak.”
Tapi, tiap kali Hanoman membunuh salah satu dari mereka, selalu hidup kembali setelah dilangkahi oleh satu yang masih hidup. Hanoman pun mengadu ke Semar.
“Paman, bagaimana membunuh mereka? Saya sudah kehabisan tenaga.”
“Ada cara tertentu,” kata Semar.
“Makan singkong,” celetuh Astrajingga, anak sulung semar, punakawan itu.
“Kok bisa,” Hanoman terkejut dengan usul itu.
“Ya, bisa saja,” kata Astrajingga dengan tenang.
“Bagaimana caranya?”
“Direbus.”
“Direbus?”
“Direbus. Terus dimakan pasti kenyang dan punya tenaga lagi.”
“Aeh, kutukupret!”
Aswandi Kumba-Kumba Aswandi pun mati dengan cara dibenturkan kepalanya. Mereka tak bisa hidup karena mati bersamaan. Alengka pun jatuh dan Shinta kembali ke pelukan Rama, meski harus menjalani pembakaran untuk membuktikan kesuciannya.
EKALAYA
Wayang selalu punya contoh bagus untuk setiap gerik hidup. Ada contoh kesembronoan ketika Pandawa menggadaikan kerajaan bahkan menyerahkan Drupadi, istri Yudhistira, ketika kalah dadu dari Kurawa. Ada tamsil kesabaran yang ditunjukan Destrarasta yang buta. Ada intrik, ada kecongkakan, dan perjuangan yang mengharukan dalam kisah heroik Mahabharata maupun cerita cinta Ramayana.
Ketekunan belajar dicontohkan Bambang Ekalaya. Saya kerap mendengar ceritanya dari mulut bapak saat akan berangkat tidur sewaktu kecil. Kisah Ekalaya adalah kisah ketangguhan mengejar cita-cita sekaligus keculasan yang ditunjukan Pandita Durna.
Ekalaya berangkat mencari Durna di Sokalima, sebuah lembah cantik di kawasan utara Hastinapura, sebagai pemuda sudra yang haus ilmu. Ekalaya bercita-cita pandai memanah dan ilmu keprajuritan. Bapaknya, seorang pangrehpraja di sebuah kota kecil menyiapkan Ekalaya sebagai kesatria digdaya.
Saat umurnya menginjak remaja, si bapak mengutarakan keinginannya untuk melepas Ekalaya berguru di padepokan Durna. Maka, pada suatu pagi yang cerah, Ekalaya dilepas dengan tangis dan harapan keluarga, ditemani seorang cantrik pengawal pribadi dengan satu pesan ayah: “Jangan pulang sebelum dapat ilmu”.
Tak mudah mencari Sokalima bagi pemuda udik macam Ekalaya, kendati kemasyhuran Durna hinggap ke pelosok-pelosok negeri sebagai pandita luhung.
Menempuh jalur yang berliku, Ekalaya sampai di lembah teduh itu disambut Aswatama, anak laki-laki Durna dengan nada sinis. Keduanya terlibat pertarungan sengit karena kecongkakan Aswatama yang tak mau melihat orang asing di wilayah Ayahnya. Wiracarita mengisahkan, Aswatawama terjerembab hanya oleh satu tendangan Ekalaya tepat di dadanya. Ekalaya akhirnya di hadapkan pada Durna, yang bengkok tangan kirinya, yang meruncing jenggot putihnya dengan kepala selalu mendongak.
Ekalaya menyampaikan maksudnya. Ia tak menyangka jawaban apa gerangan yang akan diterimanya yang akan keluar dari mulut seorang pandita yang diidam-idamkan dan dibayangkan sebagai pandita luhung itu. “Kau sudra, tak layak berguru di sini,” jawaban Durna meruntuhkan harapan Ekalaya.
Ia keluar padepokan dengan tertunduk dan tak habis pikir. Durna yang diagung-agungkan ayahnya ternyata hanya seorang manusia berpandangan picik, seorang pandita yang silau oleh permata. Tapi, pesan ayahnya sebelum pergi kembali mengiang. Pemuda itu bimbang dan terpekur di tengah hutan. Ia marah, tapi ia juga tak punya kuasa. Haruskah menyalahkan nasib yang tak memberi peluang untuk sebuah cita-cita?
Di tengah hutan itu, Ekalaya akhirnya membuat gubuk. Ia memutuskan belajar memanah sendiri. Ia ciptakan patung yang mirip Durna yang ditancapkan di halaman gubuknya. Seolah-olah patung itu selalu mengawasinya saat ia memegang gondewa mengarahkan anak panah, terasa menghardiknya jika ia bermalas-malas, terasa menagih jika ada waktu terlewat tak diisi pelajaran.
Berhari, minggu, bulan dan tahun, Ekalaya belajar dan berlatih. Ia kini tahu dengan kecepatan dan sudut berapa anak panah harus dilepas dari busur untuk membidik benda terbang, berlari atau diam. Konon, kecepatan dan kelihaian memanahnya hampir menyamai ilmu Arjuna, yang tak lain murid utama Pandita Durna.
Kisah itu berakhir sedih. Ekalaya kemudian dibunuh Kresna yang menyamar sebagai Durna. Generasi Ekalaya mematrikan dendam pada Durna dan justru mengagungkan raja Amarta itu. Ekalaya juga terlibat pertarungan alot dengan Arjuna yang mencoba melirik istrinya, Dewi Anggraeni, dan menggodanya. Di luar itu Arjuna tak ingin tersaingi. “Tak boleh ada matahari kembar di jagat raya ini,” Arjuna bersumpah.
Saya tak tahu kisah selanjutnya, karena konon roh Ekalaya menitis pada jasad seorang pemuda lainnya. Saat cerita belum usai, biasanya, saya sudah tidur.